Kamis, 11 September 2008

Hanya Gara-gara Perusahaan Sebelah

Astro memberi Direct Vision tenggang waktu sebulan. Kongsi Astro dengan Lippo hampir pasti bubar.

Tidak tampak gundah sama sekali di wajah karyawan PT Direct Vision, Jumat dua pekan lalu. Mereka tumpah bermain balon, bernyanyi, bergoyang, dan berlimpah makanan di Bumi Perkemahan Ragunan, Jakarta Selatan. Kantor mereka di Citra Graha, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, dibiarkan melompong.
Padahal, pekan-pekan ini, nasib mereka sedang gawat. Astro All Asia Networks Plc tengah berkemas-kemas untuk hengkang. Kamis pekan lalu, Astro secara resmi menyampaikan ke Bursa Malaysia tidak akan memperpanjang kesepakatan dengan Direct Vision.
Menurut Alexander Lay, kuasa hukum Astro, kongsi kedua perusahaan itu hanya diikat ”seutas benang tipis”, yakni perjanjian hak guna merek. Berdasarkan perjanjian itu, Direct berhak menggunakan label Astro (Astro Nusantara) untuk siaran televisi berbayar di Indonesia. Ikatan itu berakhir 31 Agustus kemarin.
Yang benar-benar genting sebenarnya bukanlah soal merek, melainkan kucuran fulus dari Astro. Sebab, selama ini, Astrolah yang membiayai seluruh operasi Direct. Dari urusan pengadaan dekoder, teknologi informasi, hingga penyediaan rupa-rupa kanal siaran, semuanya ditanggung Astro. Dengan tamatnya kesepakatan merek, kucuran duit Astro juga bakal disetop.
l l l
Roda nasib Astro Nusantara berputar begitu cepat. Sejak mereka memulai siaran pada 28 Februari 2006, tak henti kritik menerpa. Terutama terkait dengan hak labuh Satelit Measat-2 yang mereka gunakan.
Ujian pertama dilalui, banjir hujatan kembali menerpa ketika tahun lalu Liga Utama Sepak Bola Inggris tayang eksklusif di Astro. Penggila Liga Inggris, yang semula tak perlu membayar serupiah pun untuk menonton adu sepak Cristiano Ronaldo atau Didier Drogba, tahun lalu harus membayar iuran bulanan setidaknya Rp 250 ribu.
Kendati tak pernah sepi dari protes, bisnis Direct Vision melaju kencang. Hanya dalam dua setengah tahun, jumlah pelanggannya sudah menembus 140 ribu dan nangkring di urutan kedua terbesar, setelah Indovision. Mereka menyalip televisi berbayar lama, seperti Telkomvision (PT Indonusa Telemedia), Kabelvision, dan IM-2 Pay TV (PT Indosat Mega Media).
Kini laju Direct mulai melambat, bahkan terancam mogok. Jumlah pelanggannya menyusut menjadi 117 ribu. Sumber masalahnya adalah sengketa yang tak kunjung terdamaikan antara Astro All Asia dan Grup Lippo.
Padahal semula kongsi Astro dengan Lippo di Direct seperti bakal semulus jalan tol. Pada 11 Maret 2005, Astro dan PT Ayunda Prima Mitra menandatangani subscription and shareholders agreement. Disepakati, jika kongsi ini benar-benar mewujud, Ayunda—anak perusahaan multimedia milik Lippo, PT First Media Tbk.—akan memiliki 49 persen saham Direct. Sisanya menjadi jatah Astro.
Tapi angin tak berpihak ke Astro. Delapan bulan setelah kesepakatan, pemerintah melarang perusahaan asing memiliki saham lebih dari 20 persen di usaha televisi berbayar. Perundingan Astro dengan Lippo kembali ke titik nol. Isi perjanjian dibongkar kembali, termasuk soal komposisi saham.
Saat negosiasi belum kelar dan perjanjian baru belum diteken, pada 28 Februari 2006 Astro tayang perdana. ”Waktu itu modalnya saling percaya saja. Urusan hukum menyusul,” kata Alexander. Atas nama saling percaya itulah dengan ringan tangan Astro menggelontorkan duit jutaan dolar untuk ongkos operasi Direct.
Astro rupanya salah perhitungan. Gara-gara transaksi Natrindo Telepon Selular, rencana kongsi Direct rusak seterusnya. Lippo marah besar ketika Maxis Communications menjual Natrindo kepada Saudi Telecom pada Juni 2006. Semula Maxis membeli 95 persen saham Natrindo dari Lippo dengan harga US$ 224 juta.
Nah, hanya berselang dua bulan, Maxis membanderol 51 persen andil Natrindo plus 25 persen saham Maxis ke Saudi dengan harga berlipat, yakni US$ 3,05 miliar. ”Keluarga Riady (pemilik Lippo) merasa kehilangan muka,” kata salah satu sumber seperti dikutip The Straits Times.
Kemarahan keluarga Riady terhadap pemilik Maxis, T. Ananda Krishnan, merembet ke Astro. Selain di Maxis, orang terkaya kedua di negeri jiran, Malaysia, ini punya andil di Astro. Sebagai ”hukuman” terhadap Ananda, Lippo membekukan perundingan kongsi Direct hingga soal Natrindo kelar.
Namun, ketika soal Natrindo beres setahun kemudian, selera berunding Lippo dan Astro sudah kadung menguap. Lippo, misalnya, membanderol 51 persen saham Direct begitu mahal, US$ 250 juta, jika Astro ingin membeli saham itu. ”Padahal itu tak ada dalam perjanjian,” kata Sugeng Teguh Santoso, pengacara Astro. Astro, kata Alexander, jelas keberatan membayar harga semahal itu.
Hubungan Astro-Lippo tambah kusut setelah keduanya saling balas mengadu ke polisi. Lippo melaporkan Sean Dent, Direktur Keuangan Direct, dan beberapa orang Astro ke polisi dengan tuduhan penggelapan dan pencucian uang. Dua pekan lalu, giliran Astro mengadukan Lippo ke polisi dengan dugaan tak kalah seram: penipuan.
Komposisi pemilik Direct pun masih belum berubah, persis seperti ketika Astro belum masuk, yakni seratus persen milik Lippo lewat Ayunda dan Silver Concord Holdings Limited.
l l l
Kendati menurut Alexander hingga detik ini Astro dan Lippo masih terus berunding, peluang terbentuk kongsi di Direct sudah begitu tipis. ”Pilihannya tinggal siapa akan mem-buy out siapa,” kata Alexander. Apakah Lippo bertahan dan Astro keluar atau sebaliknya.
Jika Lippo yang keluar, berarti Astro harus mencari mitra lokal baru. Apabila Astro yang hengkang, ada perhitungan yang harus dituntaskan dengan Lippo. Sebab, selama satu setengah tahun, Astro mengaku telah mengucurkan RM 805 juta atau sekitar US$ 234 juta untuk mengongkosi operasi Direct. Jalan damai sepertinya susah ditempuh untuk menarik uang itu.
Menurut sumber Tempo, keluarga Riady dan Ananda sudah turun tangan mencari jalan keluar. Penengah yang dekat dengan kedua keluarga juga terus berusaha mendamaikan mereka.
Dia mengatakan sikap Lippo sebenarnya juga sudah mulai melunak. Dua pekan lalu, Lippo menyampaikan ke pihak Astro siap menuntaskan kongsi. ”Mungkin daripada kalah dan tidak mendapat apa-apa,” ujarnya. Namun Astro, yang sudah kadung patah arang, menolaknya.
Sayang, Tempo tak berhasil mengorek keterangan dari pihak Lippo. Harianda Noerlan, Direktur Korporasi PT First Media, dan Eddy Rizal Umar, salah satu petinggi Lippo, tak menanggapi permintaan wawancara. Jonathan Limbong Parapak, Presiden Komisaris First Media, pun hanya mengulang jawaban dua pekan lalu. ”Saya tidak tahu soal Astro,” katanya.
Saat dua ”gajah” berunding, karyawan Direct hanya bisa meraba-raba nasib. Mereka memang bisa sedikit memperpanjang napas ketika Astro bersedia memberikan tenggang waktu pengakhiran kontrak label selama sebulan atas permintaan direksi Direct. Astro pun bersedia mengucurkan RM 20 juta untuk operasi Direct hingga 30 September nanti.
Juga para pelanggan. Nasib mereka setali tiga uang. Jika kerja sama kedua belah pihak pupus, tak jelas apakah mereka tidak bisa lagi menonton siaran Astro atau sebaliknya. Kendati demikian, Astro All Asia siap mengulurkan tangan meminimalkan kerugian. ”Itu kalau Lippo tidak menangani pelanggan dengan baik,” kata Alexander.
”Semoga sudah ada kesepakatan dalam sebulan ini,” kata Nelia Molato Sutrisno, Presiden Direktur Direct Vision, berharap. Dia sendiri mengaku sama sekali tidak terlibat dalam perundingan Astro dengan Lippo. Yang pasti, ujar Halim Mahfudz, Vice President Corporate Affair Direct, ”Sampai 30 September, kami akan jalan terus.” Bagaimana setelah itu, ya, terserah sang pemilik, Grup Lippo.

Sapto Pradityo, Amandra Mustika Megarani
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/09/08/MD/mbm.20080908.MD128176.id.html

Tidak ada komentar: